SITUS SEJARAH KOTA CINA:
MENELUSURI JEJAK PERDAGANGAN DI SUMATRA TIMUR
MENELUSURI JEJAK PERDAGANGAN DI SUMATRA TIMUR
Pengantar
Bagi generasi tua Cina yang bermigrasi dari Daratan Tiongkok ke Pulau Sumatera ratusan tahun dan kemudian berdomisili di Medan, kawasan Kota Cina (Medan Labuhan) yang menyimpan banyak Benda Cagar Budaya asal negeri itu bukanlah sesuatu yang baru. Namun, bagi generasi sesudahnya, telebih-lebih mereka yang lahir dan besar di tengah “hiruk pikuk” pembangunan saat ini, apa dan bagaimana Kota Cina itu boleh jadi merupakan sesuatu yang asing atau baru kedengarannya.
Setidaknya gambaran ini dijumpai pada generasi sekarang yang hampir tidak mengetahui pentingnya situs Kota Cina bagi sejarah Indonesia. Kota Cina, berada di dataran rendah yang merupakan bagian lembah Deli di wilayah pantai Timur Sumatera. Terletak di posisi 30 43’ Lintang Utara dan 980 38’ Bujur Timur yang dapat dicapai dari Kota Medan setelah menyusuri tepi Sungai Deli sejauh 14 km ke arah Utara/Belawan, dan kemudian menyeberangi sungai Deli sejauh 2 km ke arah Barat. Terletak pada 1,5 meter dari permukaan laut (dpl) dan merupakan lahan rawa yang banyak dipengaruhi pasang surut air laut. Diyakini, kawasan ini memiliki kesibukan yang luar biasa sebagai Bandar pelabuhan besar berskala Internasional yang dikelola dibawah satu kekuatan administratif pada masa abad ke-11 M hingga 12 M.
Bagi generasi tua Cina yang bermigrasi dari Daratan Tiongkok ke Pulau Sumatera ratusan tahun dan kemudian berdomisili di Medan, kawasan Kota Cina (Medan Labuhan) yang menyimpan banyak Benda Cagar Budaya asal negeri itu bukanlah sesuatu yang baru. Namun, bagi generasi sesudahnya, telebih-lebih mereka yang lahir dan besar di tengah “hiruk pikuk” pembangunan saat ini, apa dan bagaimana Kota Cina itu boleh jadi merupakan sesuatu yang asing atau baru kedengarannya.
Setidaknya gambaran ini dijumpai pada generasi sekarang yang hampir tidak mengetahui pentingnya situs Kota Cina bagi sejarah Indonesia. Kota Cina, berada di dataran rendah yang merupakan bagian lembah Deli di wilayah pantai Timur Sumatera. Terletak di posisi 30 43’ Lintang Utara dan 980 38’ Bujur Timur yang dapat dicapai dari Kota Medan setelah menyusuri tepi Sungai Deli sejauh 14 km ke arah Utara/Belawan, dan kemudian menyeberangi sungai Deli sejauh 2 km ke arah Barat. Terletak pada 1,5 meter dari permukaan laut (dpl) dan merupakan lahan rawa yang banyak dipengaruhi pasang surut air laut. Diyakini, kawasan ini memiliki kesibukan yang luar biasa sebagai Bandar pelabuhan besar berskala Internasional yang dikelola dibawah satu kekuatan administratif pada masa abad ke-11 M hingga 12 M.
Eksistensi Situs Kota Cina
Catatan resmi tentang keberadaan situs Kota Cina telah ada sejak tahun 1826, berkenaan dengan laporan Anderson yang pada tahun 1823 diperintahkan Gubernur Penang W. E. Philips melakukan perjalanan ke Sumatera Timur untuk survei politik ekonomi bagi kepentingan Inggris. Dalam laporannya diperoleh bahwa di kawasan ini terdapat batu besar bertulis yang tidak dapat dibaca oleh penduduk setempat. Selanjutnya, dalam Oudheikundig Verslag (OV) tahun 1914 keberadaan situs bersejarah ini kemudian disebut dengan Kota Cina.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap situs Kota Cina tersebut setidaknya ditemukan lokasi yang mengandung tinggalan arkeologi, diantaranya ditemukan berbagai sisa bangunan keagamaan yang berisi arca Budhis, dan arca yang bersifat Hindu, sisa pertukangan logam, sisa tempat tinggal di sekitar sampah kerang dan berbagai artefak lain berupa manik-manik, pecahan gelas, mata uang logam, sisa papan perahu, tembikar dan keramik (baik yang masih utuh maupun pecahan). Berdasarkan banyaknya temuan arkeologis tersebut membuktikan bahwa pada masa lalu Kota Cina berperan sebagai ”Pelabuhan” jalur perdangangan atau sisa aktifitas kemaritiman pada masa lalu di pesisir timur Sumatera (Koestoro dkk, 2004:31). Beberapa asumsi diajukan oleh peneliti bahwa penghunian dan kegiatan/aktifitas di Kota Cina berlangsung pada sekitar abad ke 11-12 M dan merupakan pusat niaga dengan jalinan dagang melalui pantai dan sungai. Asumsi ini berlangsung oleh upaya carbon datting terhadap keramik dan papan kayu perahu yang ditemukan di situs Kota Cina yang diketahui pembuatannya dari abad ke 12-13 (Wibisono, 1982). Asumsi juga dikuatkan dengan analisa terhadap temuan arca Budha, dilihat dari segi ikonografi menunjukkan kesamaan dengan gaya India Selatan (Tanjore) yang berasal abad ke 12-13 M (Suleiman, 1981). Analisa terhadap temuan keramik menunjukkan bahwa sebagian bersar keramik yang ditemukan di situs Kota Cina berasal dari abad ke 12-14 M. Jenis keramik yang paling banyak ditemukan di situs Kota Cina adalah jenis Celadon (green-glazed) yakni jenis keramik yang memiliki ciri-ciri umum berwarna hijau dengan bahan dasar utama stoneware. Puncak masa keemasan celadon adalah pada masa dinasti Sung abad ke 11-12 M, diproduksi masal untuk memenuhi kebutuhan perdagangan dan eksport (Ambary, 1984:66).
Jenis keramik lainya adalah keramik Chingpai, (white glaze wares) yang merupakan jenis keramik yang bahan dasarnya menggunakan stoneware dengan glasir warna putih/bening yang dihasilkan dari mineral silica yang kadang mengalami efek samping dari pembakaran pada suhu yang tinggi berupa retakan halus pada permukaan wadah yang sering disebut pecah seribu. Keramik Chingpai diproduksi pada masa dinasti Sung hingga Dinasti Yuan berkisar abad 12 hingga akhir abad ke 14. Di situs Kota Cina juga terdapat keramik Te Hua wares yakni jenis keramik yang mirip dengan keramik Chingpai, perbedaannya pada tingkat kekasaran perekat bahan serta kurang baiknya proses pembentukan akhir. Keramik ini banyak diproduksi pada dinasti Yuan sekitar abad 14. (Ambary, 1984: 69). Jenis lainnya adalah Coarse stone wares, adalah jenis keramik yang masih kasar dalam proses pembentukannya sehingga butiran pada bahan dasar yang berupa stoneware masih nampak, yang memberi kesan kasar bada bagian badan wadah.
Aktivitas Arkeologis berupa penelitian arkeologi dan geomorfologis maupun ekskavasi dimulai sejak tahun 1972 hingga tahun 1989 yang dilakukan oleh arkeolog berkebangsaan Inggris yakni Edmund E. Mc.Kinnon (1973, 1976, 1978), Mc. Kinnon et al., (1974), Bronson (1973), Suleiman (1976), Ambary (1978, 1979a, 1979b), Miksic, (1979), Wibisono (1981) dan Manguin (1989). Sayangnya setelah itu kegiatan penelitian untuk menggali lebih jauh dan merehabilitasi situs tersebut sebagai situs cagar budaya yang dilindungi pemerintah dengan undang-undang belum secara maksimal direalisasikan. Selain itu juga situs Kota Cina merupakan cagar budaya yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan jatidiri bangsa dan kepentingan Nasional sesuai Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang menyebutkan bahwa ”Situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya.”
Situs sejarah ini diyakini berdiri sejak abad ke-11-12 M yang dibuktikan dengan temuan-temuan keramik, tembikar maupun mata uang di lokasi dimaksud. Temuan-temuan spektakuler di situs Kota Cina dengan luas 36 Ha ini telah disimpan rapi di Museum Negeri Sumatera Utara berupa keramik, mata uang, batu berfragmen candi ataupun archa. Temuan-temuan hasil penggalian arkeologis di Kota Cina berupa stonewares dan earthenwares dari dinasti Sung, Yuan dan Ming, archa Wisnu dan Lakhsmi serta Budha, menjelaskan bahwa kawasan ini terpengaruh oleh Hindu dan Budha. Demikian pula, kontruksi candi yang terpendam sedalam 60 cm dibawah permukaan tanah. Disamping itu, ditemukan pula jenis mata uang yang berasal dari mancanegara seperti Tiongkok, Burma, India Selatan maupun Thailand dan Muang Thai.
Eksistensi situs Kota Cina dan situs sejarah lainnya seperti situs Barus (abad ke-6) dan situs Portibi Tapanuli Selatan (abad ke-11) telah dicatat oleh Eric M. Oey (1991) sebagai situs kerajaan kuna (ancient kingdom) di Sumatra Utara. Lain daripada itu, terdapat situs lainnya seperti Kota Rentang (abad 12-13) dan Benteng Deli Tua (15-16). Kota Cina dipercaya merupakan bandar internasional yang sangat sibuk dengan frekuensi niaga yang cukup tinggi. Hal lain dibuktikan dengan banyaknya temuan keramik dan mata uang yang berasal mancanegara seperti Tiongkok, China, Vietnam, Burma, Srilangka dan Arab. Arus perdagangan yang tinggi tersebut terutama ditujukan untuk perolehan komoditas seperti Kapur Barus dan Kemenyan maupun stonewares dan earthenwares. Jika merujuk pada dinasti Cina, maka keramik dan tembikar tersebut berasal dari Song, Yuan dan Ming. Tidak mustahil apabila material tersebut dibawa langsung dari negara asalnya untuk diperdagangkan atau dipertukarkan dengan kemenyan atau Kapur Barus dengan masyarakat setempat.
Jalur perdagangan sungai (riverine) merupakan entrance ke pusat perdagangan seperti Kota Cina melalui sungai Deli, sungai Wampu dan sungai Sunggal yang bermuara ke Belawan (Belawan ertuary). Tentang hal ini, Anderson (1823) telah mengingatkan pentingnya jalur-jalur Sungai besar dan bermuara langsung ke Belawan. Lagipula, temuan bongkahan perahu yang ditemukan di Kota Cina menjadi bukti nyata bahwa kedua area ini menjadi bandar niaga yang padat dan sibuk. Hanya saja proses sedimentasi yang berlangsung ratusan tahun ini telah mengakibatkan daerah ini seakan menjauh dari laut.
Catatan resmi tentang keberadaan situs Kota Cina telah ada sejak tahun 1826, berkenaan dengan laporan Anderson yang pada tahun 1823 diperintahkan Gubernur Penang W. E. Philips melakukan perjalanan ke Sumatera Timur untuk survei politik ekonomi bagi kepentingan Inggris. Dalam laporannya diperoleh bahwa di kawasan ini terdapat batu besar bertulis yang tidak dapat dibaca oleh penduduk setempat. Selanjutnya, dalam Oudheikundig Verslag (OV) tahun 1914 keberadaan situs bersejarah ini kemudian disebut dengan Kota Cina.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap situs Kota Cina tersebut setidaknya ditemukan lokasi yang mengandung tinggalan arkeologi, diantaranya ditemukan berbagai sisa bangunan keagamaan yang berisi arca Budhis, dan arca yang bersifat Hindu, sisa pertukangan logam, sisa tempat tinggal di sekitar sampah kerang dan berbagai artefak lain berupa manik-manik, pecahan gelas, mata uang logam, sisa papan perahu, tembikar dan keramik (baik yang masih utuh maupun pecahan). Berdasarkan banyaknya temuan arkeologis tersebut membuktikan bahwa pada masa lalu Kota Cina berperan sebagai ”Pelabuhan” jalur perdangangan atau sisa aktifitas kemaritiman pada masa lalu di pesisir timur Sumatera (Koestoro dkk, 2004:31). Beberapa asumsi diajukan oleh peneliti bahwa penghunian dan kegiatan/aktifitas di Kota Cina berlangsung pada sekitar abad ke 11-12 M dan merupakan pusat niaga dengan jalinan dagang melalui pantai dan sungai. Asumsi ini berlangsung oleh upaya carbon datting terhadap keramik dan papan kayu perahu yang ditemukan di situs Kota Cina yang diketahui pembuatannya dari abad ke 12-13 (Wibisono, 1982). Asumsi juga dikuatkan dengan analisa terhadap temuan arca Budha, dilihat dari segi ikonografi menunjukkan kesamaan dengan gaya India Selatan (Tanjore) yang berasal abad ke 12-13 M (Suleiman, 1981). Analisa terhadap temuan keramik menunjukkan bahwa sebagian bersar keramik yang ditemukan di situs Kota Cina berasal dari abad ke 12-14 M. Jenis keramik yang paling banyak ditemukan di situs Kota Cina adalah jenis Celadon (green-glazed) yakni jenis keramik yang memiliki ciri-ciri umum berwarna hijau dengan bahan dasar utama stoneware. Puncak masa keemasan celadon adalah pada masa dinasti Sung abad ke 11-12 M, diproduksi masal untuk memenuhi kebutuhan perdagangan dan eksport (Ambary, 1984:66).
Jenis keramik lainya adalah keramik Chingpai, (white glaze wares) yang merupakan jenis keramik yang bahan dasarnya menggunakan stoneware dengan glasir warna putih/bening yang dihasilkan dari mineral silica yang kadang mengalami efek samping dari pembakaran pada suhu yang tinggi berupa retakan halus pada permukaan wadah yang sering disebut pecah seribu. Keramik Chingpai diproduksi pada masa dinasti Sung hingga Dinasti Yuan berkisar abad 12 hingga akhir abad ke 14. Di situs Kota Cina juga terdapat keramik Te Hua wares yakni jenis keramik yang mirip dengan keramik Chingpai, perbedaannya pada tingkat kekasaran perekat bahan serta kurang baiknya proses pembentukan akhir. Keramik ini banyak diproduksi pada dinasti Yuan sekitar abad 14. (Ambary, 1984: 69). Jenis lainnya adalah Coarse stone wares, adalah jenis keramik yang masih kasar dalam proses pembentukannya sehingga butiran pada bahan dasar yang berupa stoneware masih nampak, yang memberi kesan kasar bada bagian badan wadah.
Aktivitas Arkeologis berupa penelitian arkeologi dan geomorfologis maupun ekskavasi dimulai sejak tahun 1972 hingga tahun 1989 yang dilakukan oleh arkeolog berkebangsaan Inggris yakni Edmund E. Mc.Kinnon (1973, 1976, 1978), Mc. Kinnon et al., (1974), Bronson (1973), Suleiman (1976), Ambary (1978, 1979a, 1979b), Miksic, (1979), Wibisono (1981) dan Manguin (1989). Sayangnya setelah itu kegiatan penelitian untuk menggali lebih jauh dan merehabilitasi situs tersebut sebagai situs cagar budaya yang dilindungi pemerintah dengan undang-undang belum secara maksimal direalisasikan. Selain itu juga situs Kota Cina merupakan cagar budaya yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan jatidiri bangsa dan kepentingan Nasional sesuai Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang menyebutkan bahwa ”Situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya.”
Situs sejarah ini diyakini berdiri sejak abad ke-11-12 M yang dibuktikan dengan temuan-temuan keramik, tembikar maupun mata uang di lokasi dimaksud. Temuan-temuan spektakuler di situs Kota Cina dengan luas 36 Ha ini telah disimpan rapi di Museum Negeri Sumatera Utara berupa keramik, mata uang, batu berfragmen candi ataupun archa. Temuan-temuan hasil penggalian arkeologis di Kota Cina berupa stonewares dan earthenwares dari dinasti Sung, Yuan dan Ming, archa Wisnu dan Lakhsmi serta Budha, menjelaskan bahwa kawasan ini terpengaruh oleh Hindu dan Budha. Demikian pula, kontruksi candi yang terpendam sedalam 60 cm dibawah permukaan tanah. Disamping itu, ditemukan pula jenis mata uang yang berasal dari mancanegara seperti Tiongkok, Burma, India Selatan maupun Thailand dan Muang Thai.
Eksistensi situs Kota Cina dan situs sejarah lainnya seperti situs Barus (abad ke-6) dan situs Portibi Tapanuli Selatan (abad ke-11) telah dicatat oleh Eric M. Oey (1991) sebagai situs kerajaan kuna (ancient kingdom) di Sumatra Utara. Lain daripada itu, terdapat situs lainnya seperti Kota Rentang (abad 12-13) dan Benteng Deli Tua (15-16). Kota Cina dipercaya merupakan bandar internasional yang sangat sibuk dengan frekuensi niaga yang cukup tinggi. Hal lain dibuktikan dengan banyaknya temuan keramik dan mata uang yang berasal mancanegara seperti Tiongkok, China, Vietnam, Burma, Srilangka dan Arab. Arus perdagangan yang tinggi tersebut terutama ditujukan untuk perolehan komoditas seperti Kapur Barus dan Kemenyan maupun stonewares dan earthenwares. Jika merujuk pada dinasti Cina, maka keramik dan tembikar tersebut berasal dari Song, Yuan dan Ming. Tidak mustahil apabila material tersebut dibawa langsung dari negara asalnya untuk diperdagangkan atau dipertukarkan dengan kemenyan atau Kapur Barus dengan masyarakat setempat.
Jalur perdagangan sungai (riverine) merupakan entrance ke pusat perdagangan seperti Kota Cina melalui sungai Deli, sungai Wampu dan sungai Sunggal yang bermuara ke Belawan (Belawan ertuary). Tentang hal ini, Anderson (1823) telah mengingatkan pentingnya jalur-jalur Sungai besar dan bermuara langsung ke Belawan. Lagipula, temuan bongkahan perahu yang ditemukan di Kota Cina menjadi bukti nyata bahwa kedua area ini menjadi bandar niaga yang padat dan sibuk. Hanya saja proses sedimentasi yang berlangsung ratusan tahun ini telah mengakibatkan daerah ini seakan menjauh dari laut.
Penutup
Situs yang telah ditemukan di pesisir pantai Timur Sumatra ini menandakan bahwa wilayah ini pernah menjadi bandar niaga bertaraf internasional sesuai zamanya, sekaligus menjadi centrum kerajaan Aru yang besar dan penting dalam menjelaskan peradaban Sumatra Timur. Namun, kekurang perhatian masyarakat dan instansi terkait terhadap situs-situs sejarah menjadi faktor utama (main factor) penyebab kemusnahan situs ini. Ironisnya, situs ini tidak terawat dan bahkan hampir musnah. Kota Cina telah diserobot dan diduduki oleh masyarakat dengan menjadikannya sebagai areal pemukiman dan pertanian. Ironisnya, observasi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa perumahan telah berdiri di situs sejarah dimaksud. Oleh karena itu, sangat disayangkan apabila langkah-langkah preservasi terhadap situs ini tidak dilakukan, karena pada akhirnya akan melenyapkan eksistensi situs maha penting untuk menjelaskan jejak peradaban kota Medan dan Sumatera Timur di masa lalu.
Situs yang telah ditemukan di pesisir pantai Timur Sumatra ini menandakan bahwa wilayah ini pernah menjadi bandar niaga bertaraf internasional sesuai zamanya, sekaligus menjadi centrum kerajaan Aru yang besar dan penting dalam menjelaskan peradaban Sumatra Timur. Namun, kekurang perhatian masyarakat dan instansi terkait terhadap situs-situs sejarah menjadi faktor utama (main factor) penyebab kemusnahan situs ini. Ironisnya, situs ini tidak terawat dan bahkan hampir musnah. Kota Cina telah diserobot dan diduduki oleh masyarakat dengan menjadikannya sebagai areal pemukiman dan pertanian. Ironisnya, observasi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa perumahan telah berdiri di situs sejarah dimaksud. Oleh karena itu, sangat disayangkan apabila langkah-langkah preservasi terhadap situs ini tidak dilakukan, karena pada akhirnya akan melenyapkan eksistensi situs maha penting untuk menjelaskan jejak peradaban kota Medan dan Sumatera Timur di masa lalu.